Nama menteri pendidikan nasional (mendiknas) berubah nama, kembali menjadi
menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud). Perubahan nama ini buntut dari
reshuffle kabinet, di mana unsur kebudayaan akan masuk dalam kurikulum
pendidikan.
"Sekarang Kemendiknas berubah nama menjadi Kemendikbud. Dan inilah
kedua wakil menteri yang menempati bidang pendidikan dan kebudayaan," ujar
M Nuh di Gedund DSS, Kemendikbud, Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (19/10/2011).
Hari ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh mengenalkan
kedua wakil menteri baru tersebut di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud).
Wamendikbud bidang pendidikan, Musliar Kasim hadir dengan menggunakan kemeja
putih dengan dasi merah, senada dengan M Nuh.
Sedangkan, Wamendikbud bidang budaya, Wiendu Nuryati nampak anggun dengan
berpakaian kebaya lengkap dengan konde, layaknya wanita Jawa tradisional.
Dengan ramah, keduanya bersalaman dengan para pewarta berita yang hadir dan
mengucapkan selamat atas jabatan baru yang diemban
Penyelesaian konflik papua dan cara Penyelesaiannya.
Jakarta, CyberNews. Penyelesaian konflik di Papua terhambat oleh
masih adanya ‘tembok’ yang memisahkan Papua dengan Jakarta. Persoalan tersebut
adalah masalah ketidakpercayaan.
"Hal itu membuat apapun upaya yang selama ini diinisiasi pemerintah,
gagal dan membutuhkan dialog sebagai pembuka jalur penyelesaian," kata
peneliti LIPI Muridan S Widjojo dalam diskusi bertema ‘NKRI, Papua, dan
Freeport’ di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Jumat (4/11).
Menurutnya, ketidakpercayaan rakyat Papua telah lama terjadi. Hal itu juga
dipicu oleh langkah pemerintah sendiri dalam merespons konflik Papua. Dia
mengatakan, masyarakat Papua bersandar pada sejarah.
"Misalnya, keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sejak 1965, yang
dijawab pemerintah dengan menurunkan tentara. Sayangnya, tentara saat itu tidak
hanya menembaki para anggota OPM, melainkan juga membakar kampung-kampung dalam
rangka mendukung upaya tersebut," ujarnya.
Dikatakan, cerita tentang pelanggaran HAM di Papua cukup panjang. Cara-cara
demikian, lanjutnya, terpelihara dan membuat konflik yang ada menjadi tidak
terselesaikan serta memunculkan trauma.
Keritikan : "Untuk keluar dari konflik berkepanjangan ini, pemerintah
jangan lagi menggunakan pendekatan keamanan. Sebab, harus menempuh dialog
berlapis. Mulai dari dialog di internal Papua, dialog antara pemerintah, serta
yang terpenting adalah dialog antara Papua dengan Jakarta,"
Penyelesaian Konflik papua dari segi Budaya
JUBI --- Diaz Gwijangge, Anggota Komisi X DPR RI memberikan perspektif dalam
penyelesaian konflik Papua akibat berkibarnya Bintang Kejora (BK) yang telah
menelan banyak korban jiwa, baik di pihak rakyat sipil maupun di pihak aparat
keamanan.
“Kalau misalnya sekarang, kita lihat fakta yang sedang bergulir, JDP di
bawah pimpinan Pater Neles Tebay dan kelompok sosial masyarakat lain yang juga
tergabung di dalamnya sudah memulai proses ini agar tidak deadlock seperti BK
dan Merah Putih karena sudah begitu banyak korban yang jatuh di kedua belah
pihak setiap tahun jadi kita coba cari jalan/solusi damai,” tutur Gwijangge
pada JUBI hari ini, Selasa (16/7).
Dalam sejarahnya, BK resmi dikibarkan pada Tanggal 1 Desember 1961 di
Hollandia berdampingan dengan Bendera Belanda. Hollandia adalah nama Kota
Jayapura pada jaman kependudukan Belanda di Papua.
Di sisi lain, Gwijangge juga mempertanyakan kesanggupan Pemerintah Indonesia
untuk duduk sama rendah atau berdiri sama tinggi dengan Rakyat Papua dalam
menyelesaikan berbagai konflik yang disebabkan oleh BK.
“Di sisi yang lain juga, pertanyaan saya adalah apakah Rakyat Papua mau atau
tidak untuk duduk bersama-sama dengan Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan
berbagai persoalan?” Tanya Gwijangge.
Gwijangge juga mengaku bahwa dirinya tidak memahami dengan baik makna dari
setiap simbol di dalam BK itu sendiri hingga saat ini tetapi secara umum ada
filosofis dan mitologi dari tiap suku di Papua tentang BK itu sendiri. Hal
itulah yang membuat Orang papua merasa BK tidaklah jauh dari dirinya sendiri.
Bintang Kejora yang juga disebut Bintang Pagi ini biasanya dijadikan para
nelayan sebagai penuntun. Sebagai penunjuk arah ketika mereka berada di tengah
lautan tanpa kompas navigasi. Bintang Kejora adalah harapan bagi para nelayan
yang sedang menanti datangnya pagi. Bintang Kejora adalah pedoman arah bagi
masa depan yang cerah, secerah matahari terbit.
NEGERI YANG TAK PERNA ADA KEDAMAIN.
Penulis sengaja katakan negeri yang tak perna ada kedamain karena Papua
kapan saja dimana saja bisa damai, bisa senang dan bisa mencekam hal itu bukan
menjadi hal yang tabu setiap tanggal 1 Desember Rakyat Papua tau mereka akan
terusik, sebelum HUT RI 17 Agustus pasti ada upaya pengibaran bintang kejora
dan berbagai macam cara dan bentuk Papua tidak aman, serta berbagai aksi
penembakan sewaktu-waktu bisa kembali terjadi oleh Orang Tak di kenal. Dan
terlebih stikmanisasi orang Papua yang terus membunuh karakter bangsa Papua,
Ini bukan kali pertama terjadi konflik ini telah dimulai sejak Indonesia
menguasai Papua sejak tanggal 1 Mei 1963 dan hingga kini, persoalan Otsus
banyak belum dituntaskan secara komperhensif dan menyeluruh. Baik itu persoalan
Hak Asasi Manusia (HAM), persoalan ekonomi, dan masih banyak persoalan lainya
dan rentetan dari persoalan-persoalan inilah yang menimbulkan stigma orang
Papua mungkin bukan orang Indonesia, layaknya seperti orang Indonesia lain
sehingga rasa ketidak percayaan orang Papua semakin tinggi, ketidakpercayaan
ini diperlihatkan melalui beberapa cara. Yaitu mendesak perlu ada dialog antara
pemerintah Indonesia dan orang Papua dan tuntutan referendum yang dimunculkan
terutama dari kalangan pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam berbagai
forum-forum ekstrim di papua.
Buntutnya pergolakan demi pergolakan terus dilakukan untuk meminta pengakuan
yang sama sebagai warga negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka
menyelesaikan konflik Papua, telah melakukan sejumlah operasi militer secara
besar-besaran di tanah Papua. Operasi militer yang menewaskan warga atau
masyarakat sipil, merusak fasilitas tidak dapat ditolelir sebagai kelasiman
prosedur militer, rasanya tidak ada prosedur baku seperti itu, ini cara-cara
tersebut merupakan pelanggaran berat atas HAM, terlebih kepada masyarakat
sipil, dan juga melanggar aturan sebagai operasi militer, mereka harus
melindungi nyawa masyarakat sipil dan konflik yang berlarut-larut. Banyak
kalangan menilai operasi militer yang kurang selektif dan diskriminatif, telah
menumbuhkan perasaan tidak senang yang meluas.
Padahal untuk menyelesaikan masalah Papua menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) “pemerintah perlu suatu strategi untuk identifikasi
susber-sumber komflikya lebih dulu secara jelas. Upaya penyelasaian dengan
jalan kekerasan tentu tidak akan menyelesaikan konflik Papua, selain dengan
jalan damai. Banyak pihak sudah mengumandangkan pentingnya dialog antara
pemerintah dan orang Papua atau dialog Jakarta dengan Papua untuk menyelesaikan
konfilk secara damai karena pengalaman dan sejarah Papua memperlihatkan bahwa
kekerasan tidak pernah menyelesaikan konflik Papua. Kekerasan malah menambah
jumlah korban dan memperbanyak masalah. Maka penyelesaian konflik Papua hanya
melalui jalan damai yakni dialog, Baik itu dialog internal orang Papua, warga
Papua, wakil-wakil orang Papua di dalam dan di luar negeri dan dialog
pemerintah Indonesia dengan orang Papua karena. Dialog merupakan suatu
kebutuhan yang mendesak untuk mencegah pertumpahan darah di masa depan.
Pernyataan ini (Dialog) merupakan satu topik utama yang selalu muncul
sebagai tuntutan disetiap aksi-aksi (Demonstrasi) yang dilakukan oleh orang
Papua. Namun tidak pernah terealisai. padahal komitmen Indonesia untuk
menyelesaikan konflik Papua secara dialog sudah dinyatakan secara publik. Oleh
berbagai pihak seperti pernyataan Mentri Luar Negeri Hasan Wirayuda yang
mengumumkan niat pemerintah yang mengutamakan solusi tanpa kekerasan. dan DPR
RI selaku pihak legislatif telah memperlihatkan pentingnya dialog untuk
menyelesaikan konflik Papua. Pandangan DPR ini diungkapkan oleh Komisi I yang
membidangi Pertahanan dan Masalah Luar Negeri melalui Ketuanya Teo L Sambuaga,
yang mendorong pemerintah sebaga pihak legislatif agar segera mengadakan dialog
nasional dan lokal untuk menyelesaikan konflik Papua.
Semua komiten pemerintah ini sesuai dengn niat atau komitmen pribadi
Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang berkehendak mengatasi berbagai persoalan
di Indonesi dengan tiga pendekatan utama, masing-masing keadilan, demokrasi dan
damai. Untuk menyelesaikan konflik Papua harus secara damai dan demokratis
seperti penyelesaian konflik di Nanggroe Aceh Darussalam “Papua sudah sangat
jelas, Kita akan mengedepankan cara-cara demokrasi dan damai seperti di Aceh” .
Banyak pihak sudah mengumandangkan dialog antara pemerintah dan orang Papua
atau dialog Jakarta-Papua untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai. Namun
hingga kini belum ada suatu suatu konsep tertulis tentang dialog Jakarta-Papua
yang dikehendaki oleh pemerintah dan orang Papua.
Desakan dialog yang kuat dari berbagai kalangan yang dituangkan dalam suatu
konsep tertulis untuk menyelesaikan konflik Papua dengan cara dialog dan
TIDAK BERBICARA SOAL MERDEKA